Senin, 06 Oktober 2014

Media Massa


1.      Berapakah jumlah media massa yang dikuasai Rupert Murdoch ?

 (Rupert Murdoch)

News Corporation adalah perusahaan  publik yang dipegang oleh Rupert Murdoch. Didirikan pada tahun 1979 di Australia, perusahaan ini dipindahkan ke Amerika Serikat pada tahun 1980 Perusahaan ini memiliki ribuan dari media massa, diantara adalh sebagai berikut :
*      20th Century Fox
*      Blue Sky Studios
*      Andalas Televisi
*      BSkyB
*      Sky News
*      STAR TV
*      Phoenix Television
*      Fox News Channel
*      Fox Crime
*      4Kids TV (berhenti siaran pada tahun 2008)
*      New York Post
*      MySpace Records
*      BabyTV
*      Fox Sports
*      Harper Collins
*      The Times
*      News of the World
*      The Sun

2. Siapa Tokoh – Tokoh Dunia Yang Menguasai Industri Media?
    Tokoh dunia yang menguasai Industri Media ialah Keith Rupert Murdoch yaitu pemilik Paramount Company, Nickelodeon, Fox Channel.
 
3. Bagaimana teknologi komunikasi mendukung kerja corporation di berbagai Negara secara terpisah?
Saat ini penerapan teknologi informasi dan komunikasi diperlukan dalam dunia bisnis sebagai alat bantu dalam upaya memenangkan persaingan. Pembangunan Teknologi Informasi Perusahaan dilakukan secara bertahap sebelum sebuah sistem holistik atau menyeluruh selesai dibangun, hal tersebut disesuaikan dengan kekuatan sumber daya yang dimiliki. Dalam penerapannya, rencana strategis teknologi informasi senantiasa diselaraskan dengan rencana perusahaan, agar setiap penerapan teknologi informasi dapat memberikan nilai bagi perusahaan. Mengacu kepada arsitektur teknologi informasi perusahaan, penerapan Teknologi Informasi yang dilakukan dikategorikan sebagai berikut :
a. Aplikasi Teknologi Informasi yang menjadi landasan dari berbagai aplikasi lain yang ada di dalam Perusahaan antara lain sistem operasi, basis data, network management dan lain-lain. 
b. Aplikasi yang sifatnya mendasar (utility) yaitu aplikasi Teknologi Informasi yang dipergunakan untuk berbagai urusan utilisasi sumber daya Perusahaan anatara lain sistem penggajian, sistem akuntansi & keuangan dan lain-lain.
c. Aplikasi Teknologi Informasi yang sesuai dengan kebutuhan spesifik Perusahaan terutama yang berkaitan dengan proses penciptaan produk/jasa yang ditawarkan Perusahaan antara lain Aplikasi Properti, Aplikasi Forwarding dan Aplikasi Pergudangan.


4. Berapa banyak corporation media massa yang ada di Indonesia ?
Tekhnologi komunikasi mendukung kerja korporasi media massa di indonesia
Perkembangan teknologi komunikasi di era sekarang ini berkembang dengan sangat pesat, revolusi yang terjadi dalam teknologi komunikasi memanjakan oran-orang dalam melakukan komunikasi. Tidak hanya itu, di dalam dunia bisnis, perkembangan teknologi komunikasi berperan penting dalam kerja korporasi. Virtual office misalnya, virtual office adalah sebuah "ruang kerja" yang berlokasi di dunia internet dengan kata lain tidak mempunyai kantor real, di mana seorang individu dapat menyelesaikan tugas-tugas yang diperlukan untuk melaksanakan bisnis profesional atau pribadi tanpa memiliki "fisik" lokasi usaha. Kantor virtual merupakan sebuah bentuk aplikasi layanan perkantoran dalam format virtual yang bekerja secara online, dengan begitu para karyawan untuk bekerja bisa dari lokasi manapun dengan menggunakan teknologi komputer seperti PC, laptop, ponsel dan akses internet tanpa harus datang ke kantor atau dengan kata lain pekerjaan bisa di remote. Dengan adanya virtual office, waktu kita lebih efisien dalam bekerja. Kita tidak harus terpaku dengan jam-jam tertentu yang dilakukan di dalam satu tempat saja. Kita bisa melakukan perkerjaan dimanapun tempat yang kita inginkan. Tidak hanya itu, dengan virtual office kita tidak perlu memerlukan tempat untuk menjalankan bisnis anda, karena semuanya sudah tertata melalui virtual office. Maanfaat yang lebih terasa adalah biaya pengeluaran yang lebih hemat, karena dengan virtual office kita bisa mengehemat biaya gedung (sewa/milik sendiri), maintentence, listrik, tranport dan biaya-biaya lain yang ada pada kantor konvensional yang real/nyata.
Jelas sekali bahwa perkembangan teknologi komunikasi sangat berperan mendukung kerja korporasi media massa, contohnya beberapa stasiun pertelevisian di Indonesia membuka ruang untuk bekerja sama dengan masyarakat. Mereka menyediakan  sebuah wadah untuk siapa saja yang mempunyai bahan pemberitaan yang layak untuk diberitakan dengan cara upload atau mengirimkanya via email dengan alamat-alamat website yang telah di tentukan.
korporasi media massa yang ada di indonesia
    Banyak masyarakat Indonesia yang bergantung dengan media massa untuk hanya mencari sebuah hiburan ataupun untuk memenuhi kebutuhanya. Dengan semakin banyaknya masyarakat Indonesia yang menggunakan jasa media massa. Untuk sebagian pebisnis, dalam pandangan mereka itu merupakan salah satu peluang untuk meraup keuntungan yang menjanjikan. Maka tak heran dengan selalu bertambahnya media massa di Indonesia, dalam percetakan, pertelevisian ataupun radio. Dalam bidang pertelevisian, selain TVRI sebagai stasiun pertama yang berdiri di Indonesia yaitu pada tanggal 24 Agustus 196. terdapat 11 (sebelas) stasiun televisi lainya, Sebelas televisi ini ternyata dikuasai beberapa grup pemilik seperti MNC yang menguasai MNC (tadinya TPI), Metro TV, Global TV dan RCTI. Transcorp/Grup Para menguasai Trans TV dan Trans 7, kemudian Bakrie Group menguasai ANTV dan TV One , SCTV dan IVM (Indosiar Visual Mandiri) dikuasai kelompok yang sama, disamping TVRI serta Space Toon yang punya ijin siaran nasional, namun saham kepemilikan space toon kini telah di beli oleh perusahaan swasta dan berganti nama menjadi NET. Di samping itu kini telah beroperasi 7 televisi berlangganan satelit, 6 televisi berlangganan terrestrial, dan 17 televisi berlangganan kabel. Seperti tidak mau kalah dengan pertelevisian, radiopun mengalami kemajuan walaupun tidak sepesat televisi. Hingga akhir tahun 2002, terdapat 1188 Stasiun Siaran Radio di Indonesia. Jumlah itu terdiri atas 56 stasiun RRI dan 1132 buah Stasiun Radio Swasta. Perkembangan industri dan bisnis penyiaran juga telah mendorong tumbuh pesatnya bisnis rumah produksi (Production House/PH). Sebelum krisis ekonomi, tercatat ada 298 buah perusahaan PH yang beroperasi di mana sekitar 80% di antaranya berada di Jakarta. Pada saat krisis, khususnya antara tahun 1997-1999, jumlah PH yang beroperasi menurun drastis sampai sekitar 60%. Pada tahun 2003, bisnis PH secara perlahan kembali bangkit yang antara lain didorong oleh peningkatan jumlah televisi swasta. Kebutuhan TV swasta akan berbagai acara siaran, mulai acara hiburan sampai acara informasi dan pendidikan, banyak diproduksi oleh PH local. dalam bisnis media penerbitan, khususnya surat kabar dan majalah, juga mengalami peningkatan khususnya dalam hal kuantitas. Pada tahun 2000, menurut laporan MASINDO, terdapat 358 media penerbitan. Jumlah tersebut terdiri atas 104 surat kabar, 115 tabloid, dan 139 majalah. Hal menarik dalam penerbitan media massa cetak ini adalah semakin beragamnya pelayanan isi yang disesuaikan dengan karakteristik kebutuhan segmen khalayak pembacanya.
5. Unsur persaingan bisnis apa yang sekarang dilakukan media massa?
Di Indonesia kini, teori ekonomi media sudah terbukti benar karena melahirkan para konglomerat media; yang kaya gara-gara bisnis medianya. Dan teori politik media juga sudah terbukti; karena para pemilik media massa itu sudah banyak yang menjadi pejabat eksekutif [menteri]. Kita tinggal menunggu klimaksnya, apakah pada Pilpres 2014 mendatang; akan menghasilkan para eksekutif yang notabene-nya mereka pemilik media? Jika itu benar terjadi; maka sudah lengkaplah kesahihan “teori ekonomi politik media” ini. Sehingga sangat rasional, di masa depan akan tercipta “rezim media” di mana kekuasaan eksekutif [presiden, wakil presiden dan menterinya], bahkan legislatif dan yudikatifnya akan dikuasai oleh para pemilik media massa.
Mengapa saya memiliki analisis model demikian. Mari kita tilik peta industri media massa [cetak dan elektronik] di Indonesia dewasa ini. Bahwa faktanya, saat ini [Sabtu Wage, 29 Juni 2013]; berbagai perusahaan media massa cetak dan elektronik yang ada di Indonesia hanya dikuasai oleh 13 perusahaan raksasa saja. Siapakah mereka? Mereka adalah MNC Group dimiliki oleh Hary Tanoesoedibjo mempunyai 20 stasiun televisi, 22 stasiun radio, 7 media cetak dan 1 media online; Kompas Gramedia Group milik Jacob Oetomo memiliki 10 stasiun televisi, 12 stasiun radio, 89 media cetak dan 2 media online; Elang Mahkota Teknologi milik Eddy Kusnadi Sariaatmadja mempunyai 3 stasiun televisi dan 1 media online; sedangkan Mahaka Media dipunyai oleh Abdul Gani dan Erick Tohir mempunyai 2 stasiun televisi, 19 stasiun radio, dan 5 media cetak; CT Group dipunyai Chairul Tanjung memiliki jaringan 2 stasiun televisi, 1 media online.
Grup perusahaan lainnya adalah Beritasatu Media Holdings/Lippo Group yang dimiliki James Riady mempunyai 2 stasiun televisi, 10 media cetak dan 1 media online; Media Group milik Surya Paloh memiliki 1 stasiun televisi dan 3 media cetak; Visi Media Asia (Bakrie & Brothers) milik Anindya Bakrie mempunyai 2 stasiun televisi dan 1 media online; Jawa Pos Group milik Dahlan Iskan dan Azrul Ananda mempunyai 20 stasiun televisi, 171 media cetak dan 1 media online; MRA Media milik Adiguna Soetowo dan Soetikno Soedarjo memiliki 11 stasiun radio, 16 media cetak;
Femina Group Pia Alisyahbana dan Mirta Kartohadiprodjo mempunyai 2 stasiun radio dan 14 media cetak; Tempo Inti Media milik Yayasan Tempo memiliki 1 stasiun televisi, 1 stasiun radio, 3 media cetak dan 1 media online; Media Bali Post Group (KMB) milik Satria Narada mempunyai 9 stasiun televisi, 8 stasiun radio, 8 media cetak dan 2 media online (Nugroho,Yanuar. dkk. 2012 dan Lim, M. 2012).
Jika dipetakan kembali, di luar 13 grup korporasi media massa nasional di atas; terdapat perusahaan media raksasa milik negara [milik rakyat] yakni TVRI, RRI dan Kantor Berita Antara; yang selama ini penggunaannya lebih diberdayakan sebagai “kepanjangan tangan” dari pemerintah yang sedang berkuasa, sehingga publik (masyarakat) merasa kurang memilikinya. Dan juga di berbagai daerah, hingga kini masih hidup perusahaan media lokal yang terlepas dari struktur manajemen 13 perusahaan raksasa nasional di atas. Mereka adalah KR Group (SKH Kedaulatan Rakyat, Koran Merapi Pembaruan, SKM Minggu Pagi, KR Radio), Pikiran Rakyat Group (Pikiran Rakyat, Galamedia, Pakuan, Priangan, Fajar Banten, Radio Parahyangan, Percetakan PT Granesia Bandung), Suara Merdeka Group (Suara Merdeka, Wawasan, Cempaka, Harian Tegal, Harian Pekalongan, Harian Semarang, Harian Banyumas dll.), Bisnis Indonesia Group (Bisnis Indonesia, Solopos, Harian Jogja, Solopos FM) serta grup perusahaan daerah lain.
Era konvergensi media yang melahirkan para kongomerat media menyebabkan terjadinya pemusatan kepemilikan media massa, dan timbulnya tarik ulur antara idealisme pers, kepentingan bisnis dan kepentingan politik. Industri media massa di Indonesia kini dikendalikan sejumlah pemilik modal yang terkonsentrasi, yang mengarah ke oligopoli media, bahkan monopoli kepemilikan media (Supadiyanto, 2013).
Jelaslah adanya oligopoli media, yang mengarahkan terciptanya monopoli media massa mengancam hak publik dalam mengakses informasi, sebab perusahaan media massa dikendalikan para pemilik modal dan digunakan untuk mengeruk keuntungan. Tentunya media masssa menjadi lahan bisnis yang sangat menguntungkan bagi mereka yang mencari  kekuasaan.

Hal ini terutama terjadi dengan sejumlah pemilik media yang erat terhubung ke politik. Sebagai contoh sederhana, Aburizal Bakrie (pemilik Visi Media Asia yang sekaligus menjadi Ketua Umum Partai Golkar), Surya Paloh (pemilik Media Group dan Ketua Umum Partai Nasional Demokrat), Harry Tanoesoedibjo (pemilik MNC Group dan sekaligus politikus Partai Hanura, sebelumnya pernah bergabung dengan Partai Nasional Demokrat), Dahlan Iskan (bos Jawa Pos Group sekaligus pejabat pemerintah yang kini menjadi Menteri BUMN), dll. Sehingga munculnya persepsi publik yang menguatkan bahwa kepentingan para pemilik media mengancam hak warga dalam memperoleh informasi yang jujur dan netral, karena para pengusaha media menggunakan media sebagai alat kampanye politik untuk memengaruhi opini publik. Singkatnya, media telah menjadi sebuah mekanisme sistematik bagi para pengusaha dan politikus dalam menyampaikan kepentingan mereka sambil mendapatkan keuntungan dari bisnis.

Dengan demikian, akan terjadi kompetisi bisnis sekaligus kompetisi politik, sebab para pengusaha media tersebut juga merangkap profesi sebagai politikus, yang berkeinginan kuat menjadi pejabat negara di berbagai lembaga eksekutif maupun legislatif. Terkonsentrasinya kepemilikan media massa di Indonesia pada sejumlah pengusaha, melahirkan para konglomerat media massa. Sebut saja mereka misalkan adalah Chairul Tanjung dan Hary Tanoesoedibjo. Berdasarkan data yang dirilis oleh Majalah Forbes edisi November 2012, dua pengusaha di atas tercatat sebagai orang terkaya ke-5 se-Indonesia tahun 2012 dengan total kekayaan mencapai USD 3,4 miliar dan orang terkaya ke-29 se-Indonesia dengan jumlah kekayaan mencapai USD 1,04 miliar.
Sedangkan menurut versi Majalah Globe Asia, menempatkan Aburizal Bakrie (Visi Media Asia) menjadi orang terkaya ke-9 se-Indonesia, memiliki kekayaan sebesar USD 2,2 miliar, Chairul Tanjung (CT Group) sebagai orang terkaya ke-24 se-Indonesia dan Hary Tanoedoedibjo (MNC Group) sebagai orang terkaya ke-26 se-Indonesia, Jakob Oetama (Kompas Gramedia Group) sebagai orang terkaya ke-46 se-Indonesia, Dahlan Iskan (Jawa Pos Group) sebagai orang terkaya ke-80 se-Indonesia, Sukamdani Gitosardjono (Bisnis Indonesia Group) sebagai orang terkaya ke-101 se-Indonesia, Surya Dharma Paloh sebagai orang terkaya ke-102 se-Indonesia.


Melihat sejarah pers Indonesia di masa lalu, pada masa Orde Lama berkuasa, Presiden Soekarno memberikan ruang dan kesempatan kepada pers untuk berkembang; di mana sebelumnya (prakemerdekaan) pers diposisikan sebagai alat perjuangan di masa peperangan menjadi alat popaganda negara. Sehingga muncul juga media massa yang selalu mengkritisi berbagai kebijakan yang digulirkan pemerintah. Partai-partai politik dan pejabat pemerintah pada masa Orde Lama memiliki surat kabar sendiri, misalkan Partai Komunis Indonesia (PKI) menerbitkan Bintang Timur dan ABRI memiliki Berita Yudha, surat kabar Indonesia Raya dimiliki Partai Sosialis Indonesia, sedangkan Partai Nahdhatul Ulama membuat surat kabar Duta Masyarakat dan Partai Masyumi membidani lahirnya Abadi, dan Suluh Marhaen adalah media yang dikuasai Partai Nasional Indonesia (PNI).

Di masa Orde Baru, kehidupan pers benar-benar diintervensi pemerintah. Lahirlah peraturan-peraturan yang tak memungkinkan munculnya media massa yang bertentangan dengan kebijakan pemerintah. Akibatnya, banyak perusahaan media massa yang terkena pembreidelan (penghapusan hak terbit), sebagai dampak dari pemberitaan yang dinilai berseberangan dengan kebijakan pemerintah. Surat kabar yang pernah mengalami pembreidelan seperti Kompas, Tempo, Sinar Harapan dll. Di bidang media elektronik, pada masa itu hanya ada satu stasiun televisi yang dikendalikan oleh pemerintah yakni TVRI. Pada tahun 1989, lahirlah televisi swasta nasional pertama bernama RCTI yang dimiliki oleh Bambang Trihatmodjo (putra ketiga Soeharto), lantas menyusul kemudian lahir SCTV yang dimiliki oleh Sudwikatmono (sepupu Soeharto), TPI yang dimiliki Siti Hardiyanti Rukmana (putri Soeharto), ANTV milik Bakrie Group (Aburizal Bakrie, politikus Golkar), dan Indosiar milik Agung Laksono (politikus Golkar). Artinya, pada masa Orde Baru, hanya para keluarga dan kroni Soeharto sajalah yang bisa mendirikan perusahaan media massa. Bahkan untuk mendukung eksisensi Golkar, didirikan surat kabar Suara Karya, Harmoko (Menteri Penerangan) memiliki Pos Kota, Peter Gontha (rekanan bisnis Bambang Trihatmodjo) mendirikan Indonesian Observer, Sudono Salim (Liem Sioe Liong) mendirikan Indosiar TV, Agung Laksono dan Aburizal Bakrie mendirikan ANTV, Surya Paloh mendirikan Metro TV (Shen & Hill, 2000; Ida, 2006, 2009, 2011).


Pada masa pemerintahan Orde Baru, SIUPP hanya diberikan kepada keluarga Soeharto dan politisi yang dekat dengan Soeharto. Sehingga hanya sedikit perusahaan media massa yang berdiri di masa Orde Baru. Karakteristik ruang gerak pers di masa rezim Orde Baru di bawah Soeharto, yakni adanya pembatasan ruang publik, termasuk pembatasan yang ketat terhadap kebebasan pers. Pers dibatasi dalam mengkritik terhadap pemerintah dengan menggunakan berbagai metode, yakni: sensor formal dan informal, larangan publikasi (baik sementara dan permanen), pemberlakuan SIUPP yang ketat untuk semua publikasi berita, dan pengawasan dan kontrol negara terhadap profesi wartawan melalui PWI (McCargo, 2003).
Pada masa Orde Reformasi, di mana era kebebasan pers sangat dijunjung tinggi, memunculkan lahirnya berbagai media massa baru dan bahkan media lama yang pernah terkena pembreidelan oleh penguasa Orde Baru seperti Koran Tempo telah terbit kembali. Dalam periode sejarah ini, pers benar-benar mengalami kemajuan pesat. Langkah merger dan akuisisi ditempuh oleh sejumlah perusahaan sebagai strategi bisnis media yang dinilai ampuh hingga sekarang. Dari tahun 1998-2000 saja tercatat hampir 1.000 perusahaan media yang mendapatkan izin terbit dari pemerintah, kendati hanya sedikit perusahaan media yang bisa bertahan sebab terjadi kompetisi bisnis yang sangat ketat. Jumlah media cetak pada awal tahun 1999 sebanyak 289 buah, dan pada tahun 2001 menjadi 1.881 buah.

Akhir tahun 2010, jumlah media cetak menyusut menjadi 1.076 buah (Data Serikat Penerbit Surat Kabar, 2011). Surat kabar dengan oplah tertinggi dipegang oleh Kompas dengan 600.000 eksemplar per hari, Jawa Pos 450.000 eksemplar per hari, Suara Pembaruan 350.000 per hari, Republika 325.000 eksemplar per ari, Media Indonesia 250.000 eksemplar per hari dan Koran Tempo dengan 240.000 eksemplar per hari. Pada tahun 2002, jumlah stasiun radio mencapai 873 buah. Pada tahun 2003, ada 11 stasiun televisi, 186 surat kabar harian, 245 surat kabar mingguan, 279 tabloid, 242 majalah dan 5 buletin (Gobel and Eschborn, 2005).
Bagaimana peta industri media dalam skala global? Fakta menunjukkan bahwa industri media massa sedunia hanya dikuasai oleh 6 perusahaan media massa raksasa milik Yahudi. Perusahaan tersebut adalahVivende Universal, AOL Time Warner, The Walt Disney Co., Bertelsmann AG, Viacom, dan News Corporation. Enam konglomerasi media massa dunia tersebut menguasai 96 persen pasar media dunia (Ramdan, Anton A. 2009). Bahkan menurut Robert W. Mc Chesney pada tahun 2000, penguasa media massa tinggal 3 perusahaan raksasa (holdings), yang kemudian mereka disebut sebagai The Holy Trinity of the Global Media System. Chesney merisaukan dampak dari adanya kenyataan jika kekuataan media sebagai produsen budaya, produsen informasi politik dan kekuatan ekonomi; terkonsentrasi pada beberapa orang saja (Chesney, 2000).
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar