1. Berapakah jumlah media massa yang dikuasai Rupert Murdoch ?
(Rupert Murdoch)
News Corporation adalah perusahaan
publik yang dipegang oleh Rupert
Murdoch. Didirikan pada tahun 1979 di Australia, perusahaan ini dipindahkan ke
Amerika Serikat pada tahun 1980 Perusahaan ini memiliki ribuan dari media
massa, diantara adalh sebagai berikut :
Harper Collins
The Times
News of the World
The Sun
2. Siapa
Tokoh – Tokoh Dunia Yang Menguasai Industri Media?
Tokoh
dunia yang menguasai Industri Media ialah Keith Rupert Murdoch yaitu pemilik
Paramount Company, Nickelodeon, Fox Channel.
3. Bagaimana
teknologi komunikasi mendukung kerja corporation di berbagai Negara secara
terpisah?
Saat ini penerapan teknologi informasi
dan komunikasi diperlukan dalam dunia bisnis sebagai alat bantu dalam upaya
memenangkan persaingan. Pembangunan Teknologi Informasi Perusahaan dilakukan
secara bertahap sebelum sebuah sistem holistik atau menyeluruh selesai
dibangun, hal tersebut disesuaikan dengan kekuatan sumber daya yang dimiliki.
Dalam penerapannya, rencana strategis teknologi informasi senantiasa
diselaraskan dengan rencana perusahaan, agar setiap penerapan teknologi
informasi dapat memberikan nilai bagi perusahaan. Mengacu kepada arsitektur
teknologi informasi perusahaan, penerapan Teknologi Informasi yang dilakukan
dikategorikan sebagai berikut :
a. Aplikasi
Teknologi Informasi yang menjadi landasan dari berbagai aplikasi lain yang ada
di dalam Perusahaan antara lain sistem operasi, basis data, network management
dan lain-lain. b. Aplikasi yang sifatnya mendasar (utility) yaitu aplikasi Teknologi Informasi yang dipergunakan untuk berbagai urusan utilisasi sumber daya Perusahaan anatara lain sistem penggajian, sistem akuntansi & keuangan dan lain-lain.
c. Aplikasi Teknologi Informasi yang sesuai dengan kebutuhan spesifik Perusahaan terutama yang berkaitan dengan proses penciptaan produk/jasa yang ditawarkan Perusahaan antara lain Aplikasi Properti, Aplikasi Forwarding dan Aplikasi Pergudangan.
4. Berapa banyak corporation media massa yang ada di Indonesia ?
Tekhnologi
komunikasi mendukung kerja korporasi media massa di indonesia
Perkembangan teknologi komunikasi di era sekarang
ini berkembang dengan sangat pesat, revolusi yang terjadi dalam teknologi komunikasi
memanjakan oran-orang dalam melakukan komunikasi. Tidak hanya itu, di dalam
dunia bisnis, perkembangan teknologi komunikasi berperan penting dalam kerja
korporasi. Virtual office misalnya, virtual office adalah sebuah "ruang
kerja" yang berlokasi di dunia internet dengan kata lain tidak mempunyai
kantor real, di mana seorang individu dapat menyelesaikan tugas-tugas yang
diperlukan untuk melaksanakan bisnis profesional atau pribadi tanpa memiliki
"fisik" lokasi usaha. Kantor virtual merupakan sebuah bentuk aplikasi
layanan perkantoran dalam format virtual yang bekerja secara online, dengan
begitu para karyawan untuk bekerja bisa dari lokasi manapun dengan menggunakan
teknologi komputer seperti PC, laptop, ponsel dan akses internet tanpa harus
datang ke kantor atau dengan kata lain pekerjaan bisa di remote. Dengan adanya
virtual office, waktu kita lebih efisien dalam bekerja. Kita tidak harus
terpaku dengan jam-jam tertentu yang dilakukan di dalam satu tempat saja. Kita
bisa melakukan perkerjaan dimanapun tempat yang kita inginkan. Tidak hanya itu,
dengan virtual office kita tidak perlu memerlukan tempat untuk menjalankan
bisnis anda, karena semuanya sudah tertata melalui virtual office. Maanfaat
yang lebih terasa adalah biaya pengeluaran yang lebih hemat, karena dengan
virtual office kita bisa mengehemat biaya gedung (sewa/milik sendiri),
maintentence, listrik, tranport dan biaya-biaya lain yang ada pada kantor
konvensional yang real/nyata.
Jelas sekali bahwa perkembangan teknologi
komunikasi sangat berperan mendukung kerja korporasi media massa, contohnya
beberapa stasiun pertelevisian di Indonesia membuka ruang untuk bekerja sama
dengan masyarakat. Mereka menyediakan sebuah wadah untuk siapa saja yang
mempunyai bahan pemberitaan yang layak untuk diberitakan dengan cara upload
atau mengirimkanya via email dengan alamat-alamat website yang telah di
tentukan.
korporasi media massa yang ada di
indonesia
Banyak masyarakat Indonesia yang
bergantung dengan media massa untuk hanya mencari sebuah hiburan ataupun untuk
memenuhi kebutuhanya. Dengan semakin banyaknya masyarakat Indonesia yang
menggunakan jasa media massa. Untuk sebagian pebisnis, dalam pandangan mereka
itu merupakan salah satu peluang untuk meraup keuntungan yang menjanjikan. Maka
tak heran dengan selalu bertambahnya media massa di Indonesia, dalam
percetakan, pertelevisian ataupun radio. Dalam bidang pertelevisian, selain
TVRI sebagai stasiun pertama yang berdiri di Indonesia yaitu pada tanggal 24
Agustus 196. terdapat 11 (sebelas) stasiun televisi lainya, Sebelas televisi
ini ternyata dikuasai beberapa grup pemilik seperti MNC yang menguasai MNC
(tadinya TPI), Metro TV, Global TV dan RCTI. Transcorp/Grup Para menguasai
Trans TV dan Trans 7, kemudian Bakrie Group menguasai ANTV dan TV One , SCTV
dan IVM (Indosiar Visual Mandiri) dikuasai kelompok yang sama, disamping TVRI
serta Space Toon yang punya ijin siaran nasional, namun saham kepemilikan space
toon kini telah di beli oleh perusahaan swasta dan berganti nama menjadi NET.
Di samping itu kini telah beroperasi 7 televisi berlangganan satelit, 6
televisi berlangganan terrestrial, dan 17 televisi berlangganan kabel. Seperti
tidak mau kalah dengan pertelevisian, radiopun mengalami kemajuan walaupun
tidak sepesat televisi. Hingga akhir tahun 2002, terdapat 1188 Stasiun Siaran
Radio di Indonesia. Jumlah itu terdiri atas 56 stasiun RRI dan 1132 buah
Stasiun Radio Swasta. Perkembangan industri dan bisnis penyiaran juga telah
mendorong tumbuh pesatnya bisnis rumah produksi (Production House/PH). Sebelum
krisis ekonomi, tercatat ada 298 buah perusahaan PH yang beroperasi di mana
sekitar 80% di antaranya berada di Jakarta. Pada saat krisis, khususnya antara
tahun 1997-1999, jumlah PH yang beroperasi menurun drastis sampai sekitar 60%.
Pada tahun 2003, bisnis PH secara perlahan kembali bangkit yang antara lain
didorong oleh peningkatan jumlah televisi swasta. Kebutuhan TV swasta akan
berbagai acara siaran, mulai acara hiburan sampai acara informasi dan
pendidikan, banyak diproduksi oleh PH local. dalam bisnis media penerbitan,
khususnya surat kabar dan majalah, juga mengalami peningkatan khususnya dalam
hal kuantitas. Pada tahun 2000, menurut laporan MASINDO, terdapat 358 media
penerbitan. Jumlah tersebut terdiri atas 104 surat kabar, 115 tabloid, dan 139 majalah.
Hal menarik dalam penerbitan media massa cetak ini adalah semakin beragamnya
pelayanan isi yang disesuaikan dengan karakteristik kebutuhan segmen khalayak
pembacanya.
5. Unsur
persaingan bisnis apa yang sekarang dilakukan media massa?
Di Indonesia kini, teori ekonomi media
sudah terbukti benar karena melahirkan para konglomerat media; yang kaya
gara-gara bisnis medianya. Dan teori politik media juga sudah terbukti; karena
para pemilik media massa itu sudah banyak yang menjadi pejabat eksekutif
[menteri]. Kita tinggal menunggu klimaksnya, apakah pada Pilpres 2014
mendatang; akan menghasilkan para eksekutif yang notabene-nya mereka
pemilik media? Jika itu benar terjadi; maka sudah lengkaplah kesahihan “teori
ekonomi politik media” ini. Sehingga sangat rasional, di masa depan akan
tercipta “rezim media” di mana kekuasaan eksekutif [presiden, wakil presiden
dan menterinya], bahkan legislatif dan yudikatifnya akan dikuasai oleh para
pemilik media massa.
Mengapa saya memiliki analisis model
demikian. Mari kita tilik peta industri media massa [cetak dan elektronik] di
Indonesia dewasa ini. Bahwa faktanya, saat ini [Sabtu Wage, 29 Juni 2013];
berbagai perusahaan media massa cetak dan elektronik yang ada di Indonesia
hanya dikuasai oleh 13 perusahaan raksasa saja. Siapakah mereka? Mereka adalah
MNC Group dimiliki oleh Hary Tanoesoedibjo mempunyai 20 stasiun televisi, 22
stasiun radio, 7 media cetak dan 1 media online; Kompas Gramedia Group
milik Jacob Oetomo memiliki 10 stasiun televisi, 12 stasiun radio, 89 media
cetak dan 2 media online; Elang Mahkota Teknologi milik Eddy Kusnadi
Sariaatmadja mempunyai 3 stasiun televisi dan 1 media online; sedangkan
Mahaka Media dipunyai oleh Abdul Gani dan Erick Tohir mempunyai 2 stasiun
televisi, 19 stasiun radio, dan 5 media cetak; CT Group dipunyai Chairul
Tanjung memiliki jaringan 2 stasiun televisi, 1 media online.
Grup perusahaan lainnya adalah
Beritasatu Media Holdings/Lippo Group yang dimiliki James Riady mempunyai 2
stasiun televisi, 10 media cetak dan 1 media online; Media Group milik Surya
Paloh memiliki 1 stasiun televisi dan 3 media cetak; Visi Media Asia (Bakrie
& Brothers) milik Anindya Bakrie mempunyai 2 stasiun televisi dan 1
media online; Jawa Pos Group milik Dahlan Iskan dan Azrul Ananda mempunyai
20 stasiun televisi, 171 media cetak dan 1 media online; MRA Media milik
Adiguna Soetowo dan Soetikno Soedarjo memiliki 11 stasiun radio, 16 media
cetak;
Femina Group Pia Alisyahbana dan Mirta
Kartohadiprodjo mempunyai 2 stasiun radio dan 14 media cetak; Tempo Inti Media
milik Yayasan Tempo memiliki 1 stasiun televisi, 1 stasiun radio, 3 media cetak
dan 1 media online; Media Bali Post Group (KMB) milik Satria Narada
mempunyai 9 stasiun televisi, 8 stasiun radio, 8 media cetak dan 2 media online (Nugroho,Yanuar.
dkk. 2012 dan Lim, M. 2012).
Jika dipetakan kembali, di luar 13 grup
korporasi media massa nasional di atas; terdapat perusahaan media raksasa milik
negara [milik rakyat] yakni TVRI, RRI dan Kantor Berita Antara; yang selama ini
penggunaannya lebih diberdayakan sebagai “kepanjangan tangan” dari pemerintah
yang sedang berkuasa, sehingga publik (masyarakat) merasa kurang memilikinya.
Dan juga di berbagai daerah, hingga kini masih hidup perusahaan media lokal
yang terlepas dari struktur manajemen 13 perusahaan raksasa nasional di atas.
Mereka adalah KR Group (SKH Kedaulatan Rakyat, Koran Merapi Pembaruan, SKM
Minggu Pagi, KR Radio), Pikiran Rakyat Group (Pikiran Rakyat, Galamedia,
Pakuan, Priangan, Fajar Banten, Radio Parahyangan, Percetakan PT Granesia
Bandung), Suara Merdeka Group (Suara Merdeka, Wawasan, Cempaka, Harian Tegal,
Harian Pekalongan, Harian Semarang, Harian Banyumas dll.), Bisnis Indonesia
Group (Bisnis Indonesia, Solopos, Harian Jogja, Solopos FM) serta grup
perusahaan daerah lain.
Era konvergensi media yang melahirkan
para kongomerat media menyebabkan terjadinya pemusatan kepemilikan media massa,
dan timbulnya tarik ulur antara idealisme pers, kepentingan bisnis dan
kepentingan politik. Industri media massa di Indonesia kini dikendalikan
sejumlah pemilik modal yang terkonsentrasi, yang mengarah ke oligopoli media,
bahkan monopoli kepemilikan media (Supadiyanto, 2013).
Jelaslah
adanya oligopoli media, yang mengarahkan terciptanya monopoli media massa
mengancam hak publik dalam mengakses informasi, sebab perusahaan media massa
dikendalikan para pemilik modal dan digunakan untuk mengeruk keuntungan.
Tentunya media masssa menjadi lahan bisnis yang sangat menguntungkan bagi
mereka yang mencari kekuasaan.
Hal ini terutama terjadi dengan sejumlah
pemilik media yang erat terhubung ke politik. Sebagai contoh sederhana,
Aburizal Bakrie (pemilik Visi Media Asia yang sekaligus menjadi Ketua Umum
Partai Golkar), Surya Paloh (pemilik Media Group dan Ketua Umum Partai Nasional
Demokrat), Harry Tanoesoedibjo (pemilik MNC Group dan sekaligus politikus
Partai Hanura, sebelumnya pernah bergabung dengan Partai Nasional Demokrat),
Dahlan Iskan (bos Jawa Pos Group sekaligus pejabat pemerintah yang kini menjadi
Menteri BUMN), dll. Sehingga munculnya persepsi publik yang menguatkan bahwa
kepentingan para pemilik media mengancam hak warga dalam memperoleh informasi
yang jujur dan netral, karena para pengusaha media menggunakan media sebagai
alat kampanye politik untuk memengaruhi opini publik. Singkatnya, media telah
menjadi sebuah mekanisme sistematik bagi para pengusaha dan politikus dalam
menyampaikan kepentingan mereka sambil mendapatkan keuntungan dari bisnis.
Dengan demikian, akan terjadi kompetisi
bisnis sekaligus kompetisi politik, sebab para pengusaha media tersebut juga
merangkap profesi sebagai politikus, yang berkeinginan kuat menjadi pejabat
negara di berbagai lembaga eksekutif maupun legislatif. Terkonsentrasinya
kepemilikan media massa di Indonesia pada sejumlah pengusaha, melahirkan para
konglomerat media massa. Sebut saja mereka misalkan adalah Chairul Tanjung dan
Hary Tanoesoedibjo. Berdasarkan data yang dirilis oleh Majalah Forbes edisi
November 2012, dua pengusaha di atas tercatat sebagai orang terkaya ke-5
se-Indonesia tahun 2012 dengan total kekayaan mencapai USD 3,4 miliar dan orang
terkaya ke-29 se-Indonesia dengan jumlah kekayaan mencapai USD 1,04 miliar.
Sedangkan menurut versi Majalah Globe
Asia, menempatkan Aburizal Bakrie (Visi Media Asia) menjadi orang terkaya ke-9
se-Indonesia, memiliki kekayaan sebesar USD 2,2 miliar, Chairul Tanjung (CT
Group) sebagai orang terkaya ke-24 se-Indonesia dan Hary Tanoedoedibjo (MNC
Group) sebagai orang terkaya ke-26 se-Indonesia, Jakob Oetama (Kompas Gramedia
Group) sebagai orang terkaya ke-46 se-Indonesia, Dahlan Iskan (Jawa Pos Group)
sebagai orang terkaya ke-80 se-Indonesia, Sukamdani Gitosardjono (Bisnis
Indonesia Group) sebagai orang terkaya ke-101 se-Indonesia, Surya Dharma Paloh
sebagai orang terkaya ke-102 se-Indonesia.
Melihat sejarah pers Indonesia di masa
lalu, pada masa Orde Lama berkuasa, Presiden Soekarno memberikan ruang dan
kesempatan kepada pers untuk berkembang; di mana sebelumnya (prakemerdekaan)
pers diposisikan sebagai alat perjuangan di masa peperangan menjadi alat
popaganda negara. Sehingga muncul juga media massa yang selalu mengkritisi
berbagai kebijakan yang digulirkan pemerintah. Partai-partai politik dan
pejabat pemerintah pada masa Orde Lama memiliki surat kabar sendiri, misalkan
Partai Komunis Indonesia (PKI) menerbitkan Bintang Timur dan ABRI memiliki
Berita Yudha, surat kabar Indonesia Raya dimiliki Partai Sosialis Indonesia,
sedangkan Partai Nahdhatul Ulama membuat surat kabar Duta Masyarakat dan Partai
Masyumi membidani lahirnya Abadi, dan Suluh Marhaen adalah media yang dikuasai
Partai Nasional Indonesia (PNI).
Di masa Orde Baru, kehidupan pers
benar-benar diintervensi pemerintah. Lahirlah peraturan-peraturan yang tak
memungkinkan munculnya media massa yang bertentangan dengan kebijakan
pemerintah. Akibatnya, banyak perusahaan media massa yang terkena pembreidelan
(penghapusan hak terbit), sebagai dampak dari pemberitaan yang dinilai
berseberangan dengan kebijakan pemerintah. Surat kabar yang pernah mengalami
pembreidelan seperti Kompas, Tempo, Sinar Harapan dll. Di bidang media
elektronik, pada masa itu hanya ada satu stasiun televisi yang dikendalikan
oleh pemerintah yakni TVRI. Pada tahun 1989, lahirlah televisi swasta nasional
pertama bernama RCTI yang dimiliki oleh Bambang Trihatmodjo (putra ketiga
Soeharto), lantas menyusul kemudian lahir SCTV yang dimiliki oleh Sudwikatmono
(sepupu Soeharto), TPI yang dimiliki Siti Hardiyanti Rukmana (putri Soeharto),
ANTV milik Bakrie Group (Aburizal Bakrie, politikus Golkar), dan Indosiar milik
Agung Laksono (politikus Golkar). Artinya, pada masa Orde Baru, hanya para
keluarga dan kroni Soeharto sajalah yang bisa mendirikan perusahaan media
massa. Bahkan untuk mendukung eksisensi Golkar, didirikan surat kabar Suara
Karya, Harmoko (Menteri Penerangan) memiliki Pos Kota, Peter Gontha (rekanan
bisnis Bambang Trihatmodjo) mendirikan Indonesian Observer, Sudono Salim
(Liem Sioe Liong) mendirikan Indosiar TV, Agung Laksono dan Aburizal Bakrie
mendirikan ANTV, Surya Paloh mendirikan Metro TV (Shen & Hill, 2000; Ida,
2006, 2009, 2011).
Pada masa pemerintahan Orde Baru, SIUPP
hanya diberikan kepada keluarga Soeharto dan politisi yang dekat dengan
Soeharto. Sehingga hanya sedikit perusahaan media massa yang berdiri di masa
Orde Baru. Karakteristik ruang gerak pers di masa rezim Orde Baru di bawah Soeharto,
yakni adanya pembatasan ruang publik, termasuk pembatasan yang ketat terhadap
kebebasan pers. Pers dibatasi dalam mengkritik terhadap pemerintah dengan
menggunakan berbagai metode, yakni: sensor formal dan informal, larangan
publikasi (baik sementara dan permanen), pemberlakuan SIUPP yang ketat untuk
semua publikasi berita, dan pengawasan dan kontrol negara terhadap profesi
wartawan melalui PWI (McCargo, 2003).
Pada masa Orde Reformasi, di mana era
kebebasan pers sangat dijunjung tinggi, memunculkan lahirnya berbagai media
massa baru dan bahkan media lama yang pernah terkena pembreidelan oleh penguasa
Orde Baru seperti Koran Tempo telah terbit kembali. Dalam periode sejarah ini,
pers benar-benar mengalami kemajuan pesat. Langkah merger dan akuisisi ditempuh
oleh sejumlah perusahaan sebagai strategi bisnis media yang dinilai ampuh
hingga sekarang. Dari tahun 1998-2000 saja tercatat hampir 1.000 perusahaan
media yang mendapatkan izin terbit dari pemerintah, kendati hanya sedikit
perusahaan media yang bisa bertahan sebab terjadi kompetisi bisnis yang sangat
ketat. Jumlah media cetak pada awal tahun 1999 sebanyak 289 buah, dan pada
tahun 2001 menjadi 1.881 buah.
Akhir tahun 2010, jumlah media cetak
menyusut menjadi 1.076 buah (Data Serikat Penerbit Surat Kabar, 2011). Surat
kabar dengan oplah tertinggi dipegang oleh Kompas dengan 600.000 eksemplar per
hari, Jawa Pos 450.000 eksemplar per hari, Suara Pembaruan 350.000 per hari,
Republika 325.000 eksemplar per ari, Media Indonesia 250.000 eksemplar per hari
dan Koran Tempo dengan 240.000 eksemplar per hari. Pada tahun 2002, jumlah
stasiun radio mencapai 873 buah. Pada tahun 2003, ada 11 stasiun televisi, 186
surat kabar harian, 245 surat kabar mingguan, 279 tabloid, 242 majalah dan 5
buletin (Gobel and Eschborn, 2005).
Bagaimana peta industri media dalam
skala global? Fakta menunjukkan bahwa industri media massa sedunia hanya
dikuasai oleh 6 perusahaan media massa raksasa milik Yahudi. Perusahaan
tersebut adalahVivende Universal, AOL Time Warner, The Walt Disney Co.,
Bertelsmann AG, Viacom, dan News Corporation. Enam konglomerasi media
massa dunia tersebut menguasai 96 persen pasar media dunia (Ramdan, Anton A.
2009). Bahkan menurut Robert W. Mc Chesney pada tahun 2000, penguasa media
massa tinggal 3 perusahaan raksasa (holdings), yang kemudian mereka disebut
sebagai The Holy Trinity of the Global Media System. Chesney merisaukan
dampak dari adanya kenyataan jika kekuataan media sebagai produsen budaya,
produsen informasi politik dan kekuatan ekonomi; terkonsentrasi pada beberapa
orang saja (Chesney, 2000).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar